Posted on 19 Jan 2023
Deteksi Dini Anemia dan Pembagian Tablet Tambah darah
Masalah kesehatan dan gizi di Indonesia pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi fokus perhatian karena tidak hanya berdampak pada angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak, melainkan juga memberikan konsekuensi kualitas hidup individu yang bersifat permanen sampai usia dewasa. Timbulnya masalah gizi pada anak usia di bawah dua tahun erat kaitannya dengan persiapan kesehatan dan gizi seorang perempuan untuk menjadi calon ibu, termasuk rematri.
Keadaan kesehatan dan gizi kelompok usia 10-24 tahun di Indonesia masih memprihatinkan. Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada WUS usia 15 tahun ke atas sebesar 22,7%, sedangkan pada ibu hamil sebesar 37,1%.
Data SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada rematri (usia 10-19 tahun) sebesar 30%. Data penelitian di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada rematri berkisar antara 32,4 – 1% (WHO-VNIS, 2005; Kurniawan YAI dan Muslimatun, 2006; Marudut, 2012).
Rematri yang menderita anemia ketika menjadi ibu hamil berisiko melahirkan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan stunting. Anemia gizi besi menjadi salah satu penyebab utama anemia, diantaranya karena asupan makanan sumber zat besi yang kurang. Hasil penelitian di Tangerang tahun 2004 (Kurniawan YAI dan Muslimatun, 2005) menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada anak perempuan usia 10–12 tahun yang menderita anemia hanya sebesar 5,4 mg/hari, lebih rendah daripada kebutuhan perhari sebesar 20 mg/hari sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013. Angka ini menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada remaja tersebut hanya sekitar 25% dari AKG. Penelitian tersebut juga menunjukkan konsumsi besi heme sebesar 0,8 mg/hari dan besi non-heme sebesar 4,6 mg/hari.
Rematri pada masa pubertas sangat berisiko mengalami anemia gizi besi. Hal ini disebabkan banyaknya zat besi yang hilang selama menstruasi. Selain itu diperburuk oleh kurangnya asupan zat besi, dimana zat besi pada rematri sangat dibutuhkan tubuh untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan. Pada masa hamil, kebutuhan zat besi meningkat tiga kali lipat karena terjadi peningkatan jumlah sel darah merah ibu untuk memenuhi kebutuhan pembentukan plasenta dan pertumbuhan janin. Suplementasi zat besi berkaitan secara signifikan dengan penurunan risiko anemia [WHO, 2011; 2016].
Rekomendasi WHO pada World Health Assembly (WHA) ke-65 yang menyepakati rencana aksi dan target global untuk gizi ibu, bayi, dan anak, dengan komitmen mengurangi separuh (50%) prevalensi anemia.
Rematri yang menderita anemia ketika menjadi ibu hamil berisiko melahirkan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan stunting. Anemia gizi besi menjadi salah satu penyebab utama anemia, diantaranya karena asupan makanan sumber zat besi yang kurang.
Hasil penelitian di Tangerang tahun 2004 (Kurniawan YAI dan Muslimatun, 2005) menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada anak perempuan usia 10–12 tahun yang menderita anemia hanya sebesar 5,4 mg/hari, lebih rendah daripada kebutuhan perhari sebesar 20 mg/hari sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013.
Angka ini menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada remaja tersebut hanya sekitar 25% dari AKG. Penelitian tersebut juga menunjukkan konsumsi besi heme sebesar 0,8 mg/hari dan besi non-heme sebesar 4,6 mg/hari. Rematri pada masa pubertas sangat berisiko mengalami anemia gizi besi.
Hal ini disebabkan banyaknya zat besi yang hilang selama menstruasi. Selain itu diperburuk oleh kurangnya asupan zat besi, dimana zat besi pada rematri sangat dibutuhkan tubuh untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan. Pada masa hamil, kebutuhan zat besi meningkat tiga kali lipat karena terjadi peningkatan jumlah sel darah merah ibu untuk memenuhi kebutuhan pembentukan plasenta dan pertumbuhan janin. Suplementasi zat besi berkaitan secara signifikan dengan penurunan risiko anemia [WHO, 2011; 2016].
Rekomendasi WHO pada World Health Assembly (WHA) ke-65 yang menyepakati rencana aksi dan target global untuk gizi ibu, bayi, dan anak, dengan komitmen mengurangi separuh (50%) prevalensi anemia.
Rematri yang menderita anemia ketika menjadi ibu hamil berisiko melahirkan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan stunting. Anemia gizi besi menjadi salah satu penyebab utama anemia, diantaranya karena asupan makanan sumber zat besi yang kurang. Hasil penelitian di Tangerang tahun 2004 (Kurniawan YAI dan Muslimatun, 2005) menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada anak perempuan usia 10–12 tahun yang menderita anemia hanya sebesar 5,4 mg/hari, lebih
rendah daripada kebutuhan perhari sebesar 20 mg/hari sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013. Angka ini menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada remaja tersebut hanya sekitar 25% dari AKG. Penelitian tersebut juga menunjukkan konsumsi besi heme sebesar 0,8 mg/hari dan besi non-heme sebesar 4,6 mg/hari. Rematri pada masa pubertas sangat berisiko mengalami anemia gizi besi. Hal ini disebabkan banyaknya zat besi yang hilang selama menstruasi. Selain itu diperburuk oleh kurangnya asupan zat besi, dimana zat besi pada rematri sangat dibutuhkan tubuh untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan.
Pada masa hamil, kebutuhan zat besi meningkat tiga kali lipat karena terjadi peningkatan jumlah sel darah merah ibu untuk memenuhi kebutuhan pembentukan plasenta dan pertumbuhan janin. Suplementasi zat besi berkaitan secara signifikan dengan penurunan risiko anemia [WHO, 2011; 2016].
Rekomendasi WHO pada World Health Assembly (WHA) ke-65 yang menyepakati rencana aksi dan target global untuk gizi ibu, bayi, dan anak, dengan komitmen mengurangi separuh (50%) prevalensi anemia. Inilah yang mendasari Program Pelaksanaan kegiatan deteksi dini Anemia melalui pemeriksaan Hemoglobin darah dan dilanjutkan pemberian Tablet tambah darah kepada siswa Remaja Putri kelas 7 SMP dan Kelas 10 SMA di seluruh sekolah wilayah kerja Puskesmas Pati II pada bulan Januari 2023. Pelaksana Program Kesehatan Remaja ibu Ari Santi Asmarani dan Program Gizi ibu Yuni Mulyati.